![]() |
Gambar ini merupakan hiasan belaka |
Pemahaman yang diambil BBSAC terhadap NBG tentang manunggal merupakan ide bagi kita untuk
melangkah lebih kedalam lagi. Benar sekali, jika BBSAC merasa ada maksud lain
dalam alur kisah yang ditulis para pendahulu Cirebon. Dalam konteks terebut, BBSAC
merasa perlu mengambil kesimpulan tentang ilmu manunggal; manunggal antara kawula
dengan gusti, bisa meloncat naik
ke arah manunggaling ilmu antara syari’at, tarekat, hakikat, dan makrifat dalam diri orang Cirebon,
dengan kalimat lebih jelas bahkan dikatan sebagai persiapan manusia supaya
membekali diri dengan empat ilmu (syari’at,
tarekat, hakikat, dan makrifat)
dalam bertindak, bergaul, berfikir dan beribadah[1].
Pada masa-masa kemajuan Islam di Cirebon, ajaran Islam
yang membumi di hati masyarakat pada umumnya adalah ajaran tasawuf. Islam model
inilah yang diterima dan disukai oleh masyarakat Cirebon pada saat itu. Hanya
saja, seiring dengan perjalanan waktu, pemikiran-pemikiran baru bermunculan
sesuai dengan aliran atau madzhab masing-masing pendatang, dan bahkan benturan
pemikiran sering terjadi di Cirebon. Salah satu contoh yang paling populer
adalah benturan pemahaman yang terjadi antara Dewan Wali Sanga dengan Syekh
Siti Jenar. Benturan antara Syekh Siti Jenar dan Dewan Wali Sanga tidak selesai
hingga eksekusi terjadi terhadapnya, dan ketika suatu paham sudah berkembang
dalam masyarakat, maka ada penerus yang menggantikannya hingga saat ini. Mungkin
hal inilah yang menjadi salah satu sebab
terhadap kalimat tunggal di sebagian
naskah Cirebon, NBG termasuk didalamnya, tidak diarahkan kepada manunggal antara gusti dan kawula.
Dari segi sastra, NBG terkategori dalam kelompok karya
sastra dengan mengambil bentuk Tembang Macapat[2],
dan seperti Tembang Macapat dalam naskah Cirebon yang lain, NBG yang ditemukan
di keraton Kacirebonan ini, terbagi menjadi beberapa kelompok tembang,
diantaranya: kasmaran, megatruh, pangkur,
durma, dan khinanthi; dan diakhir
naskah ini ditutup dengan tembang
kasmaran.
Kelima jenis tembang yang
digunakan dalam NBG memang merupakan tembang yang tergolong dalam jenis tembang
tengahan yang lazim disebut Tembang Macapat. Karakter bahasa yang muncul
mewarnai NBG tak dapat dikatakan sebagai tembang kawi, karena itulah budayawan
Cirebon memastikan NBG sebagai salah satu naskah macapat atau tembang tengahan
yang dimiliki oleh Cirebon. Dari penggunaan dan pemilihan bahasa yang semacam
inilah NBG terlihat eksclusif sebagai suluk
pesisiran Cirebon yang mashur dan berakar pada zamannya.
[1] Budaya Bahari, hlm. 26.
[2] Tembang Macapat
merupakan bagian dari bentuk kesusasteraan Cirebon. Seorang budayawan Cirebon,
Kartani, memberi penjelasan bahwa macapat
berarti membaca empat-empat, maca
papat-papat. Membaca secara empat
wanda empat wanda dalam tembang ini sebenarnya sangat sulit dipahami oleh
generasi muda sekarang, karena mereka tidak mendapatkan gambaran dalam
pemikiran mereka bentuk tehnis membaca empat-empat. Bagi kami, mereka tidak salah
sama sekali, karena tidak ada orang yang memberinya pelajaran tentang itu.
Tentang Macapat, lihat Rokhmin Dahuri, Budaya
Bahari sebuah Apresiasi di Cirebon, terbitan Perum Percetakan Negara 2004, halm.
116 ,117. lihat juga Yatna Supriatna, Sastra
Klasik Cerbon, terbitan Disbudpar Kota Cirebon 2008, hlm. 6,7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar