Senin, 12 Maret 2012

Suluk Bujang Genjong (bagian ke 2)

Gambar ini merupakan hiasan belaka
Pemahaman yang diambil BBSAC terhadap NBG tentang manunggal merupakan ide bagi kita untuk melangkah lebih kedalam lagi. Benar sekali, jika BBSAC merasa ada maksud lain dalam alur kisah yang ditulis para pendahulu Cirebon. Dalam konteks terebut, BBSAC merasa perlu mengambil kesimpulan tentang ilmu manunggal; manunggal antara kawula dengan gusti, bisa meloncat naik ke arah manunggaling ilmu antara syari’at, tarekat, hakikat, dan makrifat dalam diri orang Cirebon, dengan kalimat lebih jelas bahkan dikatan sebagai persiapan manusia supaya membekali diri dengan empat ilmu (syari’at, tarekat, hakikat, dan makrifat) dalam bertindak, bergaul, berfikir dan beribadah[1].
Pada masa-masa kemajuan Islam di Cirebon, ajaran Islam yang membumi di hati masyarakat pada umumnya adalah ajaran tasawuf. Islam model inilah yang diterima dan disukai oleh masyarakat Cirebon pada saat itu. Hanya saja, seiring dengan perjalanan waktu, pemikiran-pemikiran baru bermunculan sesuai dengan aliran atau madzhab masing-masing pendatang, dan bahkan benturan pemikiran sering terjadi di Cirebon. Salah satu contoh yang paling populer adalah benturan pemahaman yang terjadi antara Dewan Wali Sanga dengan Syekh Siti Jenar. Benturan antara Syekh Siti Jenar dan Dewan Wali Sanga tidak selesai hingga eksekusi terjadi terhadapnya, dan ketika suatu paham sudah berkembang dalam masyarakat, maka ada penerus yang menggantikannya hingga saat ini. Mungkin hal inilah yang menjadi salah satu  sebab terhadap kalimat tunggal di sebagian naskah Cirebon, NBG termasuk didalamnya, tidak diarahkan kepada manunggal antara gusti dan kawula.
Dari segi sastra, NBG terkategori dalam kelompok karya sastra dengan mengambil bentuk Tembang Macapat[2], dan seperti Tembang Macapat dalam naskah Cirebon yang lain, NBG yang ditemukan di keraton Kacirebonan ini, terbagi menjadi beberapa kelompok tembang, diantaranya: kasmaran, megatruh, pangkur, durma, dan khinanthi; dan diakhir naskah ini ditutup dengan tembang kasmaran.
Kelima jenis tembang yang digunakan dalam NBG memang merupakan tembang yang tergolong dalam jenis tembang tengahan yang lazim disebut Tembang Macapat. Karakter bahasa yang muncul mewarnai NBG tak dapat dikatakan sebagai tembang kawi, karena itulah budayawan Cirebon memastikan NBG sebagai salah satu naskah macapat atau tembang tengahan yang dimiliki oleh Cirebon. Dari penggunaan dan pemilihan bahasa yang semacam inilah NBG terlihat eksclusif sebagai suluk pesisiran Cirebon yang mashur dan berakar pada zamannya.


[1] Budaya Bahari, hlm. 26.
[2] Tembang Macapat merupakan bagian dari bentuk kesusasteraan Cirebon. Seorang budayawan Cirebon, Kartani, memberi penjelasan bahwa macapat berarti membaca empat-empat, maca papat-papat. Membaca secara empat wanda empat wanda dalam tembang ini sebenarnya sangat sulit dipahami oleh generasi muda sekarang, karena mereka tidak mendapatkan gambaran dalam pemikiran mereka bentuk tehnis membaca empat-empat. Bagi kami, mereka tidak salah sama sekali, karena tidak ada orang yang memberinya pelajaran tentang itu. Tentang Macapat, lihat Rokhmin Dahuri, Budaya Bahari sebuah Apresiasi di Cirebon,  terbitan Perum Percetakan Negara 2004, halm. 116 ,117. lihat juga Yatna Supriatna, Sastra Klasik Cerbon, terbitan Disbudpar Kota Cirebon 2008, hlm. 6,7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar