Tarekat
Tarekat (طريقة) secara etimologi berarti jalan, cara,
metode, sistim, madzhab, aliran, haluan, keadaan, dan beberapa makna lain yang
dapat memberi beberapa pengertian yang lain[1].
Sedang menurut istilah Ulama Tasawuf,
tarekat artinya suatu cara atau jalan pendakian yang ditempuh oleh seorang salik
menuju suatu tujuan. Tujuan itu adalah sampai kepada Allah swt, yaitu
makrifatullah (mengenal Allah swt). Atau suatu jalan yang ditempuh oleh seorang
salik dengan cara mensucikan diri untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
Al-Hujwiri pengarang kitab Kasyf
al-Mahjub, berpendapat bahwa tarekat adalah media dan cara yang
tepat dalam melaksanakan syariat (jalan besar), jalan kecil (thariq) yang menyampaikan pelaku tasawuf
ke terminal hakikat. “Dan bahwa (yang
Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain, karena jalan-jalan itu
mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
agar kamu bertakwa. QS. 6 [Al-An’am]: 153. “Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan
itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang
segar (rezki yang banyak). QS 72 [Al-Jin]: 16. Jalan Lurus dalam dua ayat
dari dua surat di atas dimaknai sebagai Tarekat.[2]
Tarekat di Cirebon berkembang sejak
awal mula Islam masuk ke tanah ini. Artinya, para pendiri Caruban Nagari adalah
para tokoh Tarekat yang sungguh-sungguh dalam menjalankan berbagai aspek ajaran
tarekat yang mereka anut. Kesungguhan mereka dalam penyebaran tarekat di
Cirebon masih dapat kita temui dalam beberapa naskah Babad Cirebon dan Naskah
Taekat itu sendiri. Jejak-jejak mereka dalam pergerakan tarekat ini juga masih
dapat kita jumpai di beberapa tempat, pengguron, dan pesantren seperti
Pesantren Balerante, Pesantren Buntet, Pesantren Babakan, dan lain-lain.
Tarekat sebagai ajaran tradisi yang
terorganisir dalam bentuk kelembagaan jam’ah mengakar kuat dalam beberapa kisah
yang cukup mengesankan. Sunan Kalijaga misalnya, sanggup menjalankan ajaran
‘tapa lali’ yang diajarkan oleh Sunan Bonang kepada dirinya sebagai syarat
untuk menjadi muridnya yang baik. Tarekat dalam kisah Babad dan Suluk ini, sebagai
gambaran suatu cara yang ditempuh oleh Sunan Bonang untuk menyadarkan Raden
Said ke jalan ilahi dengan teknik kesetiaan dan kesungguhan. Kesungguhan dan
kesetiaan seorang murid dapat diketahui dengan metode (baca: tarekat) yang
diajarkan oleh Sunan Bonang kepadanya. Tarekat dengan makna inilah yang selama
ini belum pernah di sentuh oleh para penulis.
Saat pertemuan antara keduanya –
karena beberapa lama Raden Said mencari Sunan Bonang belum juga menemkannya –
Raden Said menubruk Sunan Bonang dengan penuh tangis dan harap. Pasrah jiwa dan
raga kepada Sang Guru. Hingga pada akhirnya Sunan Bonang memerintahkan, yang
sebenarnya isi perintah itu adalah ajaran tarekat yang tidak langsung
disebutkan, Raden Said untuk bertapa di tepi sungai,[3]
yang – kita semua sudah tahu akhirnya – kemudian mengangkat derajat dan
kedudukannya sebagai salah satu anggota wali sanga yang linuwih dan terpilih.
Inilah salah satu jalan (baca: tarekat) yang dilakukan oleh para wali.
Tradisi bertapa ini, dan tentunya
dibarengi dengan wiridan, masih banyak kita jumpai di tempat-tempat keramat dan
pesantren-pesantren. Karena mereka meyakini bahwa jalan ini adalah salah satu
cara yang ampuh untuk mendekati atau lebih dekat dengan Allah swt, dan karena dalam
laku ‘tapa’ (yang dalam bahasa Arabnya di sebut Zuhud) ini, seorang manusia
berusaha keras untuk mengambil sebagian kecil dari sifat-sifat Allah swt, yaitu
tidak tidur, tidak makan, tidak minum, tidak kawin, dan sifat-sifat lain yang
manusiawi. Sehingga dengan cara (baca: tarekat) pedekatan ini, ada semacam
‘kesesuaian kecil’ yang terjadi, walaupun sebenarnya hanya sebentar saja,
antara manusia dan Allah swt, dan dengan kesesuaian itulah lahir sebuah
keyakinan yang tinggi bahwa dirinya dekat dengan Allah swt. Jadi, tarekat
adalah perjalanan menuju kepada Allah swt dengan
ilmu dan amal[4] untuk
mencapai perjalanan menuju Allah swt dengan Allah swt[5].
Fenomena di atas dapat juga dikatakan
sebagai model tarekat awal yang masih berkembang hingga saat ini dengan bobot
‘tapa’ yang lebih kecil dan singkat. Misalnya, kita masih sering melihat orang
melakukan tirkatan (tapa) tujuh, sembilan, dua puluh satu, hingga empat puluh
satu hari untuk melaksanakan perintah gurunya[6].
Bedanya, yang dilakukan oleh Raden Said adalah murni kepatuhan seorang murid
kepada mursyid. Sedangkan yang dilakukan oleh orang zaman ini lebih banyak bertujuan
untuk menuntaskahn masalah-masalah yang tidak dapat di selesaikan dengan materi
dan dunia yang dimiliki olehnya.
Dalam Babad Cirebon Naskah Kuningan, Sunan
Gunungjati pernah belajar tarekat Syatariyah pada seorang mursyid yang bernama
Syekh Najmuddin[7]. Sekalipun mungkin
pencantuman Sunan Gunungjati sebagi murid Syekh Najmuddin dalam hal tarekat
Syatariyah merupakan rekaan penulis babad belaka, tapi yang harus kita sadari
adalah bahwa tarekat ini sudah ada sejak penulis badab ini hidup. Fakta inilah yang
tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun.
Ada sekitar tujuh tarekat yang hingg sekarang
masih melakukan kegiatan tareknya dan masih terus berkembang di antaranya ialah
tarekat Syatariyah, Muhammadiyah, Asrariyah, Ghazaliyah, Jazuliyah, Kadiriyah,
dan Naksabandiyah. Masing-masing tarekat ini memiliki basis perkembangan di
suatu daerah tertentu yang cukup ketat. Sebagai
misal, tarekat Tijaniyah hanya berkembang pesat melalui pondok pesantren
Buntet, dan tidak bisa di terima oleh masyarakat Benda Kerep. Pun demikian,
awalnya, Buntet tidak mau menerima tarekat Syatariyah. Kedua pihak ini mencair
ketika ada mediasi dari Balerante melalui cara pengungkapan bukti-bukti faktual
berupa keabsaan sanad yang dimiliki oleh kedua belah pihak.
Adapun di lingkungan keraton tumbuh
subur tarekat Syatariyah, Muhammadiyah, dan Asrariyah. Di lingkungan pesantren
Buntet masih berkembang tarekat Tijaniyah dan Syatariyah. Di lingkungan
pesantren Benda Kerep, berkembang tarekat Syatariyah, Muhammadiyah, dan
Asrariyah. Di pesantren Balerante, berkembang tarekat Syatariyah dan
Muhammadiyah.
Sebenarnya, jika kita melihat
informasi yang ada dalam naskah tarekat yang di miliki oleh Elang Panji Jaya,
Mertasinga, jumlah tarekat yang pernah berkembang di Cirebon mencapai 41 (empat
puluh satu) aliran. Sebuah jumlah yang cukup mengejutkan dan fantastis.
Informasi ini memberi gambaran pada kita bahwa, dahulu, perkembangan tarekat di
Cirebon bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan. Nama-nama aliran tarekat
yang disebutkan dalam naskah ini adalah tarekat Naksabandiyah, Kadiriyah,
Sadiliyah, Rifaiah, Ahmadiyah, Akbariyah, Mauludiyah, Kubrawiyah,
Sahrawardiyah, Khalwatiyah, Jalutiyah, Bukrasiyah, Ghazaliyah, Rumiyah,
Sa’diyah, Sa’baniyah, Kasyafiyah, Hazawiyah, Biramiyah, Asyakiyah, Jitsniyah,
Bakriyah, Umariyah, Usmaniyah, Ulwiyah, Abasiyah, Zaenabiyah, Isawiyah,
Maghrabiyah, Buhuriyah, Hadadiyah, Ghaibiyah, Hadhoriyah, Syatariyah, Bayumiyah,
Malamiyah, Firdausiyah, Matbuliyah, Sunbuliyah, Bayumiyah, dan Uwesiyah.
Jumlah tarekat sebanyak 41 (empat
puluh satu) tersebut sebenarnya mungkin kurang akurat, karena menyebutkan
tarekat Bayumiyah sebanyak dua kali. Akan tetapi, dalam naskah ini, tidak
menyebutkan tarekat Muhammadiyah dan Asrariyah. Padahal, dua tarekat ini masih
ada hingga sekarang.
Perkembangan tarekat selanjutnya lebih
menitik beratkan pada kegiatan dzikir dan sosial keagamaan, berupa kegemaran
bersedekah dan membagi-bagikan zakat kepada fakir miskin. Tarekat memang
identik dengan dzikir, dan tarekat juga tidak pernah menolak amal shaleh lain
yang ditradisikan oleh para mursyidnya.
Perkembangan tarekat yang terakhir ini,
yang ada di Cirebon dan masih cukup menonjol, adalah perkembangan dengan
mengambil metode (baca: tarekat) dzkir yang lebih mudah diikuti oleh kebanyakan
orang – berbeda dengan metode (baca: tarekat) ‘tapa’ (baca: zuhud) yang hanya
mampu dilakukan oleh orang-orang terpilih atau pilihan – yang masih mencintai
ajaran tarekat. Karena sejatinya, tarekat adalah segudang cara manusia yang
rindu pada Tuhannya guna mendekatkan dirinya pada-Nya, di dunia dan akhirat.
[2] M. Abdul Mujieb, Eniklopedia Tasawuf
Imam Ghazali, Penerbit Hikmah (PT. Mizan Publika) 2009, hlm. 525.
[3] Budi Santoso memberikan penjelasan bahwa ‘tapa lali’ yang dilakukan oleh
Raden Said (sebelum menjadi Sunan Kalijaga) dilakukan selama 11 (sebelas
tahun). Menurut Naskah Carub Kanda Carang Seket halaman 538, tapa itu hanya
berlangsung selama satu tahun, dan di kubur di dalam tanah. Pada saat terakhir
Sunan Bonang menjemput Raden Said, ia sudah mmenjadi batu (tidak bernafas) dan
berkat doa Sunan Bonang, berkah kepatuhan Raden Said kepadanya, dan atas izin
Allah, nyawa Raden Said dapat dikembalikan lagi. Kejadian ini menurut beliu,
berlangsung di sebuah tepi sungai dekat Gunung Cupang, Ciwaringin, Kabupaten
Cirebon. Bukti-buki dan jejak Raden Said (Sunan Kalijaga) saat bergelar
Lokajaya dan Pertapaan itu masih ada hingga sekarang di daerah itu. Perlu
penelitian ulang untuk mengabsahkan bukti-bukti yang ditunujukkan.
[6] Fenomena ini bisa kita
saksikan di sekitar makam-makam keramat dan masjid-masjid keramat yang ada di
Cirebon, mungkin juga di seluruh Jawa dan Nusantara.
[7] Amman N. Wahyu, Sejarah
Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati (Naskah Kuningan), Penerbit
PUSTAKA 2007, hlm. 50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar