Senin, 04 Februari 2013

Suluk


Suluk

Dalam naskah-naskah Cirebon, Suluk [ﺴﻠﻮﻚ] dalam bahasa Arab dimaknai dengan kata lumaku (Bahasa Cirebon), yang bisa juga diartikan berjalan atau perjalanan. Isim fa’il (subyek) nya salik [ﺴﺎﻠﻚ] berarti wongkang lumaku, orang yang berjalan.
Tentang suluk ini, Rokhmin Dahuri dkk telah meletakan naskah Suluk Bujang Genjong kedalam kelompok karya suluk yang berorientasi pada perjalanan spiritual yang dilambangkan dengan simbol-simbol.[1] Jika kita membicarakan suluk, sebenarnya ruang yang diberikan oleh khazanah kebudayaan kita sangat luas, sehingga ‘tembang’ dalang dan sinden dalam pagelaran wayang dan kesenian lain seperti brahi, dikategotikan oleh seniman dan budayawan Cirebon dalam kelompok suluk, akhirnya kata ‘suluk’ menjadi lumrah untuk menyebutkan hal-hal yang berbau tembang, misalnya Suluk Pedalangan, Suluk Gotoloco, Suluk Abdul Jalil, Suluk Sunan Kalijaga, Suluk Sunan Bonang, Suluk Babad Tanah Jawi, Suluk Babad Cirebon dan lain-lain.
Suluk di Cirebon dipahami sebagai tembang (pupuh) yang berisi ajaran tarekat[2] yang menggunakan simbol-simbol. Simbol-simbol ini digunakan untuk mempermudah alur pemikiran atau prosesi ajaran yang harus dilakukan oleh seseorang dalam menjalankan ajaran suluknya. Hal ini dilakukan karena kebanyakan orang tua zaman dahulu tidak bisa baca tulis dan susah untuk di ajak berteori dan berdefinisi. Artinya, jika suatu pengertian tentang ‘nafsu’ diajarkan dengan teori dan definisi, maka kebanyakan orang tua zaman dahulu tidak dapat memperoleh pemahaman dan gambaran yang jelas untuk dijadikan pegangan dalam melaksanakan ajarannya. Simbolisasi ajaran secara figuratif  dan metafor memungkinkan untuk memberi gambaran dan pemahaman dengan cepat dan dapat dihayati dengan mudah.
Akan tetapi metode simbolisasi yang di pilih mempunyai konsekuensi dalam penyampian materi yang hendak diajarkan. Jika kita mengakui bahwa suluk itu sendiri bahasa Arab, maka dalam konteks ‘suluk’ ini, kemasan apa yang mudah diterima dengan baik oleh masyarakat Cirebon pada masanya. Dalam kasusasteraan Arab, banyak pilihan yang bisa diambil untuk itu. Akan tetapi, pada saat yang sama, kondisi Masyarakat Cirebon (mungkin juga saat ini, dan Nusantara pada umumnya) bisa dikatakan (bila dibandingkan dengan semenanjung Arabia) belum bisa diajak bernadhom (berpupuh Arab) dengan penuh pemahaman dan penghayatan yang tinggi. Sehingga Bujangga (baca: para wali) mengambil macapat  sebagai penggantinya. Kemudian para Bujangga menuliskannya dalam naskah yang mereka sebut sebagai ‘kitab’. Jadi, disamping persoalan di atas, alasan lain yang menjadi tujuan penulisannya adalah supaya kitab suluk ini diminati oleh orang yang membacanya dan enak di telinga orang yang mendengarnya[3].
Dari segi ajaran, suluk termasuk dalam ajaran tasawuf. Dalam hal ini, suluk merupakan suatu perjalanan yang penuh rintangan menuju kedekatan dengan Allah swt[4]. Sungguhpun kita yakin bahwa Allah swt Maha Dekat dan Maha Jelas, akan tetapi hakikat kedekatan, kejelasan serta keagungan Allah swt tidak dapat ditemukan, dicerna, dan digambarkan dengan akal pikiran. Akal pikiran mempunyai batas nalar dalam menjangkau sesuatu yang dipahami[5]. Contoh yang paling sederhana adalah saat kita masih anak-anak, kita tidak pernah tahu apa yang dikerjakan oleh orang dewasa. Dan kita sebagai orang dewasa, tidak pernah tahu apa yang sudah Allah swt berikan kepada para nabi,  para wali, dan orang shaleh tentang keutamaan kasih-sayangNya, terlebih hakikat dari semua anugerah keutamaan itu.
Secara amaliah, suluk adalah cara untuk menerima limpahan rahmat Allah swt yang berupa maklumat ilaahiyah[6], pengetahuan ilahi, seperti yang telah Allah swt berikan kepada Nabi Adam as, “Dan Dia (Allah swt) telah mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya” (QS:2 [al-Baqarah] :31).  Hal yang sama dengan kapasitas yang berbeda, akan dilakukan oleh Allah swt kepada manusia ketika betul-betul menjadi anak Adam as, bukan anak Iblis. Ketika anak Adam as bersikap seperti Adam, maka Allah swt akan bertindak sebagaimana yang sudah Allah swt lakukan terhadap Adam as. Dan dengan lantaran dan kekhususan maklumat ilahiyah terhadap manusia inilah, para malaikat diperintah bersujud kepada Adam as[7]. Limpahan anugerah yang berupa maklumat ilaahiyyah bagi salik (orang yang menjalankan suluk) seringkali mendapat hambatan dan rintangan. Hambatan dan rintangan bisa berupa anugerah kecil yang sangat berharga menurut dirinya. Padahal itu hanya perhentian (manazil) yang menipu dayakan dirinya saja. Sehingga ada penegasan yang mengarahan salik untuk tidak terperdaya oleh karomah (kekuatan dahsyat) sekalipun segudang, dan terus mendorongnya dalam koridor istiqomah (kontinuitas, tetap selalu) dalam suluknya, al istiqomah khoirun min alfikaromah, istiqomah lebih baik dari seribu karomah.
Jadi, menurut istilah tasawuf, suluk adalah perjalanan hati dengan alat pemikiran pada jalan makulat, sesuatu yang dapat diangan-angankan dan dibayangkan. Adapun permulaan suluk adalah perjalanan kepada Allah swt dengan mengetahui kaidah-kaidah syara’, mengoyak hijab perintah dan larangan syara’, dan menggantungkan tujuan didalamnya dengan menuju kepadaNya. Saat mereka (para salik) mengganti keburukan dan meninggalkan kejahatan, maka mereka mendekati dan menyaksikan kelapangan jiwa yang teramat luas, tampak bagi mereka sesuatu yang terpenting  dan maha lapang; sebagian dari itu adalah pilar-pilar makrifat nubuwat; nafsu, musuh, dan dunia. Puncak Suluk adalah memakrifati al-Khalik - Maha Pencipta seluruh jagat raya, memakrifati al-Malik – Maha Raja segala alam, dan memakrifati al-Kadir – Maha Kuasa atas setiap sesutu.[8] Selanjutnya, Ibnu Athaillah Al-Sukandari menyinggung tentang keterbujukan dan ketertarikan para salik terhadap waridat, hal-hal yang datang dalam hatinya, beliau berkata, “Sungguh janganlah kamu sekalian mencari ketetapan waridat setelah cahayanya membuncah dan meninggalkan rahasianya (dalam hatimu). Maka bagimu dalam Allah Maha Kaya atas segala sesuatu dan sesuatu (waridat) bukanlah hal yang mencukupimu dari-Nya”.[9]
Cirebon penuh dengan keindahan alam dan pemandangan yang menyejukkan. Disebelah utara Cirebon adalah Laut Jawa yang ombaknya cenderung tenang. Disebelah selatan, tampak Gunung Ciremai yang menawarkan panorama bebukitan yang kuat, teguh, diam, dan kokoh. Laut Jawa yang luas (menurut pandangan mata) memberi inspirasi kepada orang Cirebon agar lapang dada dan menerima segala bentuk budaya, aliran, dan paham. Dari Gunung Ciremai, orang Cirebon mengambil pelajaran tentang kekuatan tekad dengan penuh ketenangan jiwa. Dari sanalah muncul pribahasa Cirebon yang sering disampaikan oleh orang tua kita dahulu yang berbunyi; amba segara masih amba atiningsun, gede gunung masih gede atiningsun ( luasnya lautan masih luas hati saya, besarnya gunung masih besar hati saya). Pribahasa ini, menjadi suatu ungkapan yang telah membesarkan dan melapangkan hati orang Cirebon berabad-abad.
Dari contoh diatas, pribahasa dan ungkapan yang bermakna yang telah diajarkan oleh orang tua, orang Cirebon dahulu telah memberikan warna pemikiran dan pangaruh tersendiri dalam tindakan sehari-hari masyarakat Cirebon sekarang. Pola pikir orang Cirebon dahulu yang cenderung menggambarkan dan menjelaskan pemahaman ajaran dengan metode tasybih dan tamsil, penyerupaan dan  perumpamaan[10], menjadi tradisi turun-temurun dan terpelihara hingga tertuang dalam naskah-naskahnya.
Salah satu naskah suluk yang pernah di bahas oleh Rokhmin Dahuri dkk adalah Naskah Suluk Bujang Genjong. Pemahasan yang dilakukan merupakan langkah awal yang baik untuk membuka cakrawala pesulukan Cirebon yang masih tertinggal dan belum banyak digali. Dalam uraiannya, ajaran manunggal telah disinggung; Bujang Genjong dan Rara Gonjeng disimbolkan sebagi raga dan jiwa yang selalu saling merindu[11]; merindu akan kebersamaan dan persatuan untuk menjalankan irodah, kehendak[12], untuk selalu bersama dalam kesatuan hakiki. Penggambaran yang manis ini tentunya menjadi awalan bagi inspirasi kami untuk memberi pemahaman yang lebih luas terhadap Naskah Bujang Genjong. Tokoh Bujang Genjong dan Rara Gonjeng dalam kisahnya, memang bisa menjadi lambang kerinduan persatuan yang sangat kuat.
Pada masa-masa awal kemajuan Islam di Cirebon, ajaran Islam yang membumi di hati masyarakat pada umumnya adalah ajaran tasawuf. Islam model inilah yang diterima dan disukai oleh masyarakat Cirebon pada saat itu. Hanya saja, seiring dengan perjalanan waktu, pemikiran-pemikiran baru bermunculan sesuai dengan aliran atau madzhab masing-masing pendatang, dan bahkan benturan pemikiran sering terjadi di Cirebon.
Di Timur Tengah sendiri, kebanayakn suluk diajarkan dengan tembang atau nadhom-nadhom yang ternyata mendapat respon yang cukup baik dikalangan masyarakat Islam. Ide-ide yang kadang sulit diungkapkan dengan uraian model nastar atau prosa, begitu mudah dan lancar di gubah dalam tembang dan nadhom. Sehingga kesalah pahaman antara kelompok (kaum) yang pro wahdatul wujud dan kontra wahdatul wujud dapat dihindari.
Sekilas terkait dengan ajaran wahdatul wujud, menurut al-Banjari, kaum wujudiyah (orang-orang yang memahami tentang wahdatul wujud) itu ada dua golongan: wujudiyah mulhid dan wujudiyah muwahhid. wujudiyah mulhid termasuk golongan yang sesat lagi zindiq. Wujudiyah muwahhid, menurut dia, “yaitu segala ahli sufi yang sebenarnya”, mereka dinamakan kaum wujudiyah “karena bicaranya dan perkataannya dan itikadnya itu pada wujud Allah”. Ia tidak menjelaskan isi ajaran mereka, tetapi sebagai lawan dari wujudiyah mulhid tadi, wujudiyah muwahhid tentu tidak menganggap bahwa Allah tidak “tiada maujud melainkan di dalam kandungan wujud segala makhluk”, atau “bahwa Allah itu ketahuan zat (esensi)-Nya nyata kaifiat-Nya dari pada pihak ada. Ia waujud pada kharij dan pada zaman dan makan”, dan tidak pula membenarkan pernyataan-pernyataan seumpama “tiada wujudku, hanya wujud Allah”, dan sebagainya, yang mencerminkan pandagan wujudiyah mulhid itu. Keterangan al-Banjari mengenai ajaran kaum wujudiyah mulhid itu kelihatan sangat mirip dengan keterangan ar-Raniri, yang dalam abad sebelumnya menyanggah penganut-penganut di Aceh.
Berdasarkan penjelasan ini, pada dasarnya sama dengan ajaran wahdah al-wujud Ibnu Arabi. Ajaran ini juga memandang alam semesta ini sebagai penampakan lahir Allah dalam arti bahwa wujud yang hakiki hanya Allah saja, alam semesta ini hanya bayangan bayang-Nya. Dari satu segi, ajaran ini kelihatan sama dengan ajaran tauhid tingkat tertinggi. Kedua ajaran itu memandang bahwa wujud yang hakiki hanya satu-Allah, tetapi dari lain segi wujudiyah muwahhid dan wihdah al-wujud ini tidak sama dengan pandangan “bahwa yang ada hanya Allah” dalam ajaran yang terakhir ini hanya tercapai dalam keadaan yang disebut fana, yakni terhapusnya kesadaran akan wujud yang lain, sedang dalam ajaran wihdah al-wujud, pandangan tersebut kelihatan sebagai hasil penafsiran atas fenomena alam yang serba majemuk ini. Di samping itu, pandangan tauhid tingkat tertinggi itu, nampaknya didasarkan atas asumsi bahwa esensi Allah yang mutlak itu dapat dikenali secara langsung, tanpa melalui penampakan lahir-Nya, asumsi ini dibantah oleh Ibnu Arabi, karena menurut dia Allah hanya bisa dikenal melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya.[13]
Menurut kaidah ilmu sastra, kebesaran seseorang dapat dilihat dari bahasa yang digunakannya. Dengan kata lain, kebijakan bahasa yang dipakai dalam penulisan suatu karya, dapat menjadi tolok ukur bagi penulisnya. Kalimat tamsil yang semacam inilah yang mewarnai isi kitab-kitab Ibnu Arabi, al-Ghazali, Ibnu Athoilah, dan lain-lain sewaktu mereka menjelaskan tentang ilmu mukasyafah, ilmu makrifat, dan hulul yang dianutnya. Hanya saja perbedaan selalu ada diantara sesamanya dalam sebagian masalah yang diutarakan. Namun secara garis besar, metode yang digunakan dalam hal menghadapi kesulitan saat menjelaskan tunggal, kasyaf, atau nyata kepada pembaca, mereka menempuh jalan yang sama. Mereka beranggapan, bahwa ma’rifatul haq sesuatu yang pelik, sehingga sulit untuk dijelaskan dan ditulis dengan kalimat lepas diatas lembaran kertas. Karena didorong oleh rasa ingin berbagi ilmu yang mulia kepada pembaca atau tepatnya murid, penamsilan itu dilakukan oleh mereka, agar pembaca menangkap setetes maksud dari ma’rifatul haq yang diurai dengan tamsil. Untuk bisa merasakan atau menyaksikan secara langsung, maka pembaca atau atau yang disebut dengan istilah murid harus dapat melakukan apa yang telah dikerjakan oleh orang yang mencapai maqom ma’rifat atau maqom kasyaf secara penuh dan konsisten. Maqom ini adalah maqom yang tertinggi dalam ilmu suluk yang berkembang di dunia Islam dibelahan dunia manapun. Dengan alasan inilah, pengajaran dengan metode tembang suluk menjadi jalan yang aman untuk dilalui oleh para awam dalam menerima ajaran tasawuf.
Berkaitan tentang makom-makom tertinggi yang dijelaskan dalam tembang suluk, Kartani 2012, menambahkan satu tingkat lagi di atas ma’rifat dengan tingkatan ma’lum atau maklum. Tingkatan maklum adalah kondisi pemikiran dan kesadaran seseorang tidak lagi fana fil kull (sirna dalam keseluruhan) tertuju hanya kepada Allah swt semata, tetapi sudah bisa membagi kesadarannya kepada Allah swt dan makhlukNya. Jadi fana yang dipakai oleh orang yang mencapai maklum adalah fana fil ab’adl (sirna dalam kesebagianan), yaitu seseorang disamping tenggelam dalam musyahadah fillah, dia juga mampu berkomunikasi dengan orang lain secara benar dan lancar. Hanya saja, kami tidak sempat meminta bunyi tembang suluk yang menjelaskan tentang makom ini.
Dari beberapa naskah suluk yang ada – terutama Naskah Suluk Bujang Genjong – dapat disimpulkan bahwa isi tembang suluk adalah suatu kerinduan yang penuh cinta. Karena cinta tak akan pernah sirna dari dunia hingga manusia melebur dirinya dalam kehancuran alam semesta. Akan tetapi, hakikatnya, cinta akan bangkit lagi di alam keabadian akhirat seiring dengan pulihnya kesadaran ruh. Jika ruh telah mendapatkan kesadarannya kembali, setelah dibangkitkan, ruh akan kembali berenang dalam lautan kerinduan cinta yang pernah menenggelamkannya sewaktu di dunia fana. Kerinduan ruh pada Allah swt bisa kita pahami dari kisah mahsyar yang diriwayatkan dalam hadis-hadis. Yaitu bahwa Allah swt adalah satu-satunya tujuan harapan bagi seluruh makhlukNya, dan akhir semua perjalanan (baca: suluk) yang dilakukan oleh para hambanya yang bertebaran di seluruh dunia dan menggunakan jalan dan metode yang berbeda. Allah swt sebagai pencipta yang mampu memaksa seluruh hamba-Nya datang dan tunduk di hadirat-Nya, sekarang atau esok kelak.
Dalam naskah Babad Cirebon yang di tulis oleh Mahmud Rais dijelaskan bahwa pada suatu ketika Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunungjati sedang mengadakan dakwah ke daerah Luragung, Kuningan. Di tempat ini pula pertemuan antara Sunan Gunungjati dengan calon isterinya yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong Tin terjadi dan berlangsung.  Para pemesar dan masyarakat Luragung yang baru saja masuk Islam dan mendapatkan pencerahan dari Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunungjati merasa ada sesuatu yang terbuka dalam hatinya, sebuah cahaya pemahaman ilahiyah yang menerangi  jiwa mereka. Hal itu terjadi setelah mereka tunduk kepada Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunungjati, maka senantiasa mereka memuji kepada Allah swt dengan banyak membacakan syair suluk seperti di bawah ini:
Oh Tuhan Engkaulah Dzat Yang Agung
Semoga hamba mendapat ampun
Selain itu hamba mohon bertambah
Siang malam hamba menyembah

Oh Tuhan sungguh hamba mengikuti
Siang malam hamba berbakti
Oh Tuhan senantiasa hamba sanggup
Siang malam hamba bersujud[14]


[1] Rokhmin Dahuri dkk., Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon, PNRI 2004, hlm. 223-230.
[2] Ibid, hlm. 224.
[3] Ibid, hlm. 227.
[4] Al-Ghazali 3, 1991, hlm.10.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid. Lihat juga QS 2: 34, 7: 11, 15: 30, 17: 61, 18: 50, dan 20: 116.
[8] Al-Ghazali, al-Imla ‘an Isykalatil Ihya, hlm. 18.
[9] Ibnu Imad, Syarah Hikam, juz 2, hlm. 42.
[10] Dalam surat al Ankabut ayat 43 dan 44 yang artinya: Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak. Sesumgguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang mukmin.
Proses pelajaran, terutama belajar tentang kebesaran Allah swt, sangat tepat dilakukan dengan mengambil perumpamaan, kejadian, cerita, dan ibarat. Karena dengan cara seperti ini sesuatu yang harus dijelaskan secara panjang lebar dengan tulisan atau kalimat dapat diringkas dengan satu bentuk gambar atau perumpamaan yang lebih singkat dan mudah dimengerti.
[11] Rokmin Dahuri dkk., Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon,  PNRI 2004, hlm. 225 - 226.
[12] Al Ghazali, dalam Ihya III hlm. 17 berkata, “Hati manusia itu terkhusus dengan pengetahuan dan kehendak yang menyebabkannya berbeda dari seluruh hewan.”
[13] Naskah Klasik Keagamaan Nusantara I Cerminan Budaya Bangsa, Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Lektur Keagamaan, 2005: 49-50.

[14] Rokhmin Dahuri dkk., Budaya Bahari: Sebuah Apresiasi di Cirebon, PNRI, Oktober 2004, hlm. 223-224.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar