Suluk
Dalam
naskah-naskah Cirebon, Suluk [ﺴﻠﻮﻚ] dalam
bahasa Arab dimaknai dengan kata lumaku (Bahasa Cirebon), yang bisa juga diartikan
berjalan atau perjalanan. Isim fa’il (subyek) nya salik [ﺴﺎﻠﻚ] berarti
wongkang lumaku, orang yang berjalan.
Tentang suluk ini, Rokhmin
Dahuri dkk telah meletakan naskah Suluk Bujang Genjong kedalam kelompok karya
suluk yang berorientasi pada perjalanan spiritual yang dilambangkan dengan
simbol-simbol.[1] Jika
kita membicarakan suluk, sebenarnya ruang yang diberikan oleh khazanah
kebudayaan kita sangat luas, sehingga ‘tembang’ dalang dan sinden dalam
pagelaran wayang dan kesenian lain seperti brahi, dikategotikan oleh seniman
dan budayawan Cirebon dalam kelompok suluk, akhirnya kata ‘suluk’ menjadi
lumrah untuk menyebutkan hal-hal yang berbau tembang, misalnya Suluk
Pedalangan, Suluk Gotoloco, Suluk Abdul Jalil, Suluk Sunan Kalijaga, Suluk
Sunan Bonang, Suluk Babad Tanah Jawi, Suluk Babad Cirebon dan lain-lain.
Suluk di Cirebon dipahami
sebagai tembang (pupuh) yang berisi ajaran tarekat[2] yang
menggunakan simbol-simbol. Simbol-simbol ini digunakan untuk mempermudah alur
pemikiran atau prosesi ajaran yang harus dilakukan oleh seseorang dalam
menjalankan ajaran suluknya. Hal ini dilakukan karena kebanyakan orang tua
zaman dahulu tidak bisa baca tulis dan susah untuk di ajak berteori dan
berdefinisi. Artinya, jika suatu pengertian tentang ‘nafsu’ diajarkan dengan
teori dan definisi, maka kebanyakan orang tua zaman dahulu tidak dapat
memperoleh pemahaman dan gambaran yang jelas untuk dijadikan pegangan dalam
melaksanakan ajarannya. Simbolisasi ajaran secara figuratif dan metafor memungkinkan untuk memberi
gambaran dan pemahaman dengan cepat dan dapat dihayati dengan mudah.
Akan tetapi metode
simbolisasi yang di pilih mempunyai konsekuensi dalam penyampian materi yang
hendak diajarkan. Jika kita mengakui bahwa suluk itu sendiri bahasa Arab, maka
dalam konteks ‘suluk’ ini, kemasan apa yang mudah diterima dengan baik oleh
masyarakat Cirebon pada masanya. Dalam kasusasteraan Arab, banyak pilihan yang
bisa diambil untuk itu. Akan tetapi, pada saat yang sama, kondisi Masyarakat
Cirebon (mungkin juga saat ini, dan Nusantara pada umumnya) bisa dikatakan
(bila dibandingkan dengan semenanjung Arabia) belum bisa diajak bernadhom (berpupuh Arab) dengan penuh
pemahaman dan penghayatan yang tinggi. Sehingga Bujangga (baca: para wali)
mengambil macapat sebagai penggantinya. Kemudian para Bujangga
menuliskannya dalam naskah yang mereka sebut sebagai ‘kitab’. Jadi, disamping
persoalan di atas, alasan lain yang menjadi tujuan penulisannya adalah supaya
kitab suluk ini diminati oleh orang yang membacanya dan enak di telinga orang
yang mendengarnya[3].
Dari segi ajaran, suluk
termasuk dalam ajaran tasawuf. Dalam hal ini, suluk merupakan suatu perjalanan
yang penuh rintangan menuju kedekatan dengan Allah swt[4].
Sungguhpun kita yakin bahwa Allah swt Maha Dekat dan Maha Jelas, akan tetapi
hakikat kedekatan, kejelasan serta keagungan Allah swt tidak dapat ditemukan,
dicerna, dan digambarkan dengan akal pikiran. Akal pikiran mempunyai batas
nalar dalam menjangkau sesuatu yang dipahami[5]. Contoh
yang paling sederhana adalah saat kita masih anak-anak, kita tidak pernah tahu
apa yang dikerjakan oleh orang dewasa. Dan kita sebagai orang dewasa, tidak
pernah tahu apa yang sudah Allah swt berikan kepada para nabi, para wali, dan orang shaleh tentang keutamaan
kasih-sayangNya, terlebih hakikat dari semua anugerah keutamaan itu.
Secara amaliah,
suluk adalah cara untuk menerima limpahan rahmat Allah swt yang berupa maklumat ilaahiyah[6],
pengetahuan ilahi, seperti yang telah Allah swt berikan kepada Nabi Adam as, “Dan
Dia (Allah swt) telah mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya” (QS:2
[al-Baqarah] :31). Hal yang sama dengan
kapasitas yang berbeda, akan dilakukan oleh Allah swt kepada manusia ketika
betul-betul menjadi anak Adam as, bukan anak Iblis. Ketika anak Adam as
bersikap seperti Adam, maka Allah swt akan bertindak sebagaimana yang sudah
Allah swt lakukan terhadap Adam as. Dan dengan lantaran dan kekhususan maklumat ilahiyah terhadap manusia
inilah, para malaikat diperintah bersujud kepada Adam as[7].
Limpahan anugerah yang berupa maklumat
ilaahiyyah bagi salik (orang yang
menjalankan suluk) seringkali mendapat hambatan dan rintangan. Hambatan dan
rintangan bisa berupa anugerah kecil yang sangat berharga menurut dirinya.
Padahal itu hanya perhentian (manazil)
yang menipu dayakan dirinya saja. Sehingga ada penegasan yang mengarahan salik
untuk tidak terperdaya oleh karomah (kekuatan
dahsyat) sekalipun segudang, dan terus mendorongnya dalam koridor istiqomah (kontinuitas, tetap selalu)
dalam suluknya, al istiqomah khoirun min
alfikaromah, istiqomah lebih
baik dari seribu karomah.
Jadi, menurut istilah tasawuf, suluk adalah
perjalanan hati dengan alat pemikiran pada jalan makulat, sesuatu yang dapat
diangan-angankan dan dibayangkan. Adapun permulaan suluk adalah perjalanan
kepada Allah swt dengan mengetahui kaidah-kaidah syara’, mengoyak hijab
perintah dan larangan syara’, dan menggantungkan tujuan didalamnya dengan
menuju kepadaNya. Saat mereka (para salik) mengganti keburukan dan meninggalkan
kejahatan, maka mereka mendekati dan menyaksikan kelapangan jiwa yang teramat
luas, tampak bagi mereka sesuatu yang terpenting dan maha lapang; sebagian dari itu adalah
pilar-pilar makrifat nubuwat; nafsu, musuh, dan dunia. Puncak Suluk adalah
memakrifati al-Khalik - Maha Pencipta seluruh jagat raya, memakrifati al-Malik
– Maha Raja segala alam, dan memakrifati al-Kadir – Maha Kuasa atas setiap
sesutu.[8]
Selanjutnya, Ibnu
Athaillah Al-Sukandari menyinggung tentang keterbujukan dan ketertarikan para
salik terhadap waridat, hal-hal yang
datang dalam hatinya, beliau berkata, “Sungguh
janganlah kamu sekalian mencari ketetapan waridat setelah cahayanya membuncah
dan meninggalkan rahasianya (dalam hatimu). Maka bagimu dalam Allah Maha Kaya atas segala
sesuatu dan sesuatu (waridat) bukanlah hal yang mencukupimu dari-Nya”.[9]
Cirebon penuh dengan
keindahan alam dan pemandangan yang menyejukkan. Disebelah utara Cirebon adalah
Laut Jawa yang ombaknya cenderung tenang. Disebelah selatan, tampak Gunung
Ciremai yang menawarkan panorama bebukitan yang kuat, teguh, diam, dan kokoh.
Laut Jawa yang luas (menurut pandangan mata) memberi inspirasi kepada orang
Cirebon agar lapang dada dan menerima segala bentuk budaya, aliran, dan paham.
Dari Gunung Ciremai, orang Cirebon mengambil pelajaran tentang kekuatan tekad
dengan penuh ketenangan jiwa. Dari sanalah muncul pribahasa Cirebon yang sering
disampaikan oleh orang tua kita dahulu yang berbunyi; amba segara masih amba atiningsun, gede gunung masih gede atiningsun (
luasnya lautan masih luas hati saya, besarnya gunung masih besar hati saya).
Pribahasa ini, menjadi suatu ungkapan yang telah membesarkan dan melapangkan
hati orang Cirebon berabad-abad.
Dari contoh diatas,
pribahasa dan ungkapan yang bermakna yang telah diajarkan oleh orang tua, orang
Cirebon dahulu telah memberikan warna pemikiran dan pangaruh tersendiri dalam
tindakan sehari-hari masyarakat Cirebon sekarang. Pola pikir orang Cirebon
dahulu yang cenderung menggambarkan dan menjelaskan pemahaman ajaran dengan
metode tasybih dan tamsil, penyerupaan dan perumpamaan[10],
menjadi tradisi turun-temurun dan terpelihara hingga tertuang dalam
naskah-naskahnya.
Salah satu naskah suluk
yang pernah di bahas oleh Rokhmin Dahuri dkk adalah Naskah Suluk Bujang
Genjong. Pemahasan yang dilakukan merupakan langkah awal yang baik untuk
membuka cakrawala pesulukan Cirebon yang masih tertinggal dan belum
banyak digali. Dalam uraiannya, ajaran manunggal
telah disinggung; Bujang Genjong dan Rara Gonjeng disimbolkan sebagi raga dan
jiwa yang selalu saling merindu[11];
merindu akan kebersamaan dan persatuan untuk menjalankan irodah, kehendak[12],
untuk selalu bersama dalam kesatuan hakiki. Penggambaran yang manis ini
tentunya menjadi awalan bagi inspirasi kami untuk memberi pemahaman yang lebih
luas terhadap Naskah Bujang Genjong. Tokoh Bujang Genjong dan Rara Gonjeng
dalam kisahnya, memang bisa menjadi lambang kerinduan persatuan yang sangat
kuat.
Pada masa-masa awal kemajuan
Islam di Cirebon, ajaran Islam yang membumi di hati masyarakat pada umumnya
adalah ajaran tasawuf. Islam model inilah yang diterima dan disukai oleh
masyarakat Cirebon pada saat itu. Hanya saja, seiring dengan perjalanan waktu,
pemikiran-pemikiran baru bermunculan sesuai dengan aliran atau madzhab
masing-masing pendatang, dan bahkan benturan pemikiran sering terjadi di
Cirebon.
Di Timur Tengah sendiri, kebanayakn
suluk diajarkan dengan tembang atau nadhom-nadhom yang ternyata mendapat
respon yang cukup baik dikalangan masyarakat Islam. Ide-ide yang kadang sulit
diungkapkan dengan uraian model nastar
atau prosa, begitu mudah dan lancar di gubah dalam tembang dan nadhom.
Sehingga kesalah pahaman antara kelompok (kaum) yang pro wahdatul wujud
dan kontra wahdatul wujud dapat dihindari.
Sekilas terkait dengan
ajaran wahdatul wujud, menurut al-Banjari, kaum wujudiyah (orang-orang
yang memahami tentang wahdatul wujud) itu ada dua golongan: wujudiyah mulhid dan wujudiyah muwahhid. wujudiyah mulhid termasuk golongan yang sesat
lagi zindiq. Wujudiyah muwahhid, menurut
dia, “yaitu segala ahli sufi yang sebenarnya”, mereka dinamakan kaum wujudiyah “karena bicaranya dan
perkataannya dan itikadnya itu pada wujud Allah”. Ia tidak menjelaskan isi
ajaran mereka, tetapi sebagai lawan dari wujudiyah
mulhid tadi, wujudiyah muwahhid tentu
tidak menganggap bahwa Allah tidak “tiada maujud
melainkan di dalam kandungan wujud segala makhluk”, atau “bahwa Allah itu
ketahuan zat (esensi)-Nya nyata kaifiat-Nya dari pada pihak ada. Ia waujud pada
kharij dan pada zaman dan makan”, dan tidak pula membenarkan
pernyataan-pernyataan seumpama “tiada wujudku, hanya wujud Allah”, dan
sebagainya, yang mencerminkan pandagan wujudiyah
mulhid itu. Keterangan al-Banjari mengenai ajaran kaum wujudiyah mulhid itu kelihatan sangat
mirip dengan keterangan ar-Raniri, yang dalam abad sebelumnya menyanggah
penganut-penganut di Aceh.
Berdasarkan penjelasan
ini, pada dasarnya sama dengan ajaran wahdah
al-wujud Ibnu Arabi. Ajaran ini juga memandang alam semesta ini sebagai
penampakan lahir Allah dalam arti bahwa wujud yang hakiki hanya Allah saja, alam semesta ini hanya
bayangan bayang-Nya. Dari satu segi, ajaran ini kelihatan sama
dengan ajaran tauhid tingkat tertinggi. Kedua ajaran itu memandang bahwa
wujud yang hakiki hanya satu-Allah, tetapi dari lain segi wujudiyah muwahhid dan wihdah
al-wujud ini tidak sama dengan pandangan “bahwa yang ada hanya Allah” dalam
ajaran yang terakhir ini hanya tercapai dalam keadaan yang disebut fana, yakni
terhapusnya kesadaran akan
wujud yang lain, sedang dalam ajaran wihdah
al-wujud, pandangan tersebut kelihatan sebagai hasil penafsiran atas
fenomena alam yang serba majemuk ini. Di samping itu, pandangan tauhid tingkat
tertinggi itu, nampaknya didasarkan atas asumsi bahwa esensi Allah yang mutlak
itu dapat dikenali secara langsung, tanpa melalui penampakan lahir-Nya, asumsi
ini dibantah oleh Ibnu Arabi, karena menurut dia Allah hanya bisa dikenal
melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya.[13]
Menurut kaidah ilmu
sastra, kebesaran seseorang dapat dilihat dari bahasa yang digunakannya. Dengan
kata lain, kebijakan bahasa yang dipakai dalam penulisan suatu karya, dapat
menjadi tolok ukur bagi penulisnya. Kalimat tamsil yang semacam inilah yang mewarnai
isi kitab-kitab Ibnu Arabi, al-Ghazali, Ibnu Athoilah, dan lain-lain sewaktu
mereka menjelaskan tentang ilmu mukasyafah,
ilmu makrifat, dan hulul yang dianutnya. Hanya saja
perbedaan selalu ada diantara sesamanya dalam sebagian masalah yang diutarakan.
Namun secara garis besar, metode yang digunakan dalam hal menghadapi kesulitan
saat menjelaskan tunggal, kasyaf, atau nyata kepada pembaca, mereka menempuh
jalan yang sama. Mereka beranggapan, bahwa ma’rifatul
haq sesuatu yang pelik, sehingga sulit untuk dijelaskan dan ditulis dengan
kalimat lepas diatas lembaran kertas. Karena didorong oleh rasa ingin berbagi
ilmu yang mulia kepada pembaca atau tepatnya murid, penamsilan itu dilakukan
oleh mereka, agar pembaca menangkap setetes maksud dari ma’rifatul haq yang diurai dengan tamsil. Untuk bisa merasakan
atau menyaksikan secara langsung, maka pembaca atau atau yang disebut dengan
istilah murid harus dapat melakukan
apa yang telah dikerjakan oleh orang yang mencapai maqom ma’rifat atau maqom
kasyaf secara penuh dan konsisten. Maqom
ini adalah maqom yang tertinggi dalam
ilmu suluk yang berkembang di dunia
Islam dibelahan dunia manapun. Dengan alasan inilah, pengajaran dengan metode
tembang suluk menjadi jalan yang aman untuk dilalui oleh para awam dalam
menerima ajaran tasawuf.
Berkaitan tentang
makom-makom tertinggi yang dijelaskan dalam tembang suluk, Kartani 2012,
menambahkan satu tingkat lagi di atas ma’rifat
dengan tingkatan ma’lum atau maklum. Tingkatan maklum adalah kondisi pemikiran dan kesadaran seseorang tidak lagi fana fil kull (sirna dalam keseluruhan)
tertuju hanya kepada Allah swt semata, tetapi sudah bisa membagi kesadarannya
kepada Allah swt dan makhlukNya. Jadi fana
yang dipakai oleh orang yang mencapai maklum
adalah fana fil ab’adl (sirna dalam kesebagianan),
yaitu seseorang disamping tenggelam dalam musyahadah
fillah, dia juga mampu berkomunikasi dengan orang lain secara benar dan
lancar. Hanya saja, kami tidak sempat meminta bunyi tembang suluk yang
menjelaskan tentang makom ini.
Dari beberapa naskah suluk
yang ada – terutama Naskah Suluk Bujang Genjong – dapat disimpulkan bahwa isi
tembang suluk adalah suatu kerinduan yang penuh cinta. Karena cinta tak akan
pernah sirna dari dunia hingga manusia melebur dirinya dalam kehancuran alam
semesta. Akan tetapi, hakikatnya, cinta akan bangkit lagi di alam keabadian
akhirat seiring dengan pulihnya kesadaran ruh. Jika ruh telah mendapatkan
kesadarannya kembali, setelah dibangkitkan, ruh akan kembali berenang dalam
lautan kerinduan cinta yang pernah menenggelamkannya sewaktu di dunia fana.
Kerinduan ruh pada Allah swt bisa kita pahami dari kisah mahsyar yang diriwayatkan dalam hadis-hadis. Yaitu bahwa Allah swt
adalah satu-satunya tujuan harapan bagi seluruh makhlukNya, dan akhir semua
perjalanan (baca: suluk) yang
dilakukan oleh para hambanya yang bertebaran di seluruh dunia dan menggunakan
jalan dan metode yang berbeda. Allah swt sebagai pencipta yang mampu memaksa
seluruh hamba-Nya datang dan tunduk di hadirat-Nya, sekarang atau esok kelak.
Dalam naskah Babad Cirebon
yang di tulis oleh Mahmud Rais dijelaskan bahwa pada suatu ketika Pangeran
Cakrabuana dan Sunan Gunungjati sedang mengadakan dakwah ke daerah Luragung,
Kuningan. Di tempat ini pula pertemuan antara Sunan Gunungjati dengan calon isterinya
yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong Tin terjadi dan berlangsung. Para pemesar dan masyarakat Luragung yang
baru saja masuk Islam dan mendapatkan pencerahan dari Pangeran Cakrabuana dan
Sunan Gunungjati merasa ada sesuatu yang terbuka dalam hatinya, sebuah cahaya
pemahaman ilahiyah yang menerangi jiwa
mereka. Hal itu terjadi setelah mereka tunduk kepada Pangeran Cakrabuana dan
Sunan Gunungjati, maka senantiasa mereka memuji kepada Allah swt dengan banyak
membacakan syair suluk seperti di bawah ini:
Oh Tuhan Engkaulah Dzat
Yang Agung
Semoga hamba mendapat
ampun
Selain itu hamba mohon
bertambah
Siang malam hamba
menyembah
Oh Tuhan sungguh hamba
mengikuti
Siang malam hamba berbakti
Oh Tuhan senantiasa hamba
sanggup
Siang malam hamba bersujud[14]
[8]
Al-Ghazali, al-Imla ‘an Isykalatil Ihya, hlm.
18.
[9] Ibnu
Imad, Syarah Hikam, juz 2, hlm. 42.
[10] Dalam surat al Ankabut ayat 43 dan 44 yang artinya: Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan
untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.
Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak. Sesumgguhnya pada yang demikian
itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang mukmin.
Proses pelajaran, terutama belajar tentang kebesaran
Allah swt, sangat tepat dilakukan dengan mengambil perumpamaan, kejadian,
cerita, dan ibarat. Karena dengan cara seperti ini sesuatu yang harus
dijelaskan secara panjang lebar dengan tulisan atau kalimat dapat diringkas
dengan satu bentuk gambar atau perumpamaan yang lebih singkat dan mudah
dimengerti.
[12] Al Ghazali, dalam Ihya III hlm. 17 berkata, “Hati manusia
itu terkhusus dengan pengetahuan dan kehendak yang menyebabkannya berbeda dari
seluruh hewan.”
[13] Naskah Klasik Keagamaan Nusantara I Cerminan Budaya
Bangsa, Departemen Agama RI,
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Lektur Keagamaan, 2005:
49-50.
[14] Rokhmin Dahuri dkk., Budaya
Bahari: Sebuah Apresiasi di Cirebon, PNRI, Oktober 2004, hlm. 223-224.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar